05 Maret, 2021

HESTYA PATRIE - INTERAKSI DENGAN BPK. DJAETUN HS

 

Pertama kali Berinteraksi dengan Bpk. Djaetun HS.

 

Institut Ilmu Komputer

Hotel Sabang Setiabudi

September 1978

 

Sore itu masuk dosen yang belakangan saya ketahui bernama Bpk. Djaetun. Penampilan

 biasa-biasa saja  hanya cirinya kumis lebat melintang. Beliau mulai membuka buku yang

dibawa dan menggambar flowchart dua papan tulis penuh, saat itu belum ada OHP

sehingga materi kuliah ya harus disalin ke papan tulis.

Namun IIK saat itu adalah pelopor kuliah memakai Whiteboard dan spidol, sementara

 yang lain masih memakai papan tulis dan kapur tulis.

 

Setelah meminta kita semua menyalinnya beliau mulai menerangkan flowchart tersebut

mulai dari pojok kiri atas papan tulis pertama, turun naik, cabang kekiri kekanan, begitu

terus sampai ke papan tulis kedua dan akhirnya sampai di bagian kanan atas beberapa

simbol lagi sebelum sampai pada simbol STOP di bagian kanan bawah dari papan tulis

kedua.

Kita semua kurang lebih 100 orang mahasiswa sore menyimak dengan tekun..

Selesai beliau menerangkan, seperti layaknya dosen-dosen lain pasti akan bertanya,

 “Bagaimana, sudah jelas”.” Ada pertanyaan ?”, pungkas beliau. Semua menganggukkan

 kepala. Saat beliau berkata “Baiklah, …” saya mengacungkan tangan dan berkata

 “Boleh diulang sekali lagi Pak, bagian yang kanan atas masih bingung Pak”.

 “Bagaimana yg lain?” tanya beliau.

Kelas hening semua dan hampir semua menengok ke tempat duduk saya yang ada di belakang.

 

Saat kuliah saya selalu duduk dibangku paling belakang di sebelah kanan kelas.

Berdekatan  dengan mahasiswa yang terlihat sudah berumur juga seperti saya, saat itu

usia saya 27 tahun. Baru jadi mahasiswa kembali, bayangkan kuliah bareng dengan mayoritas yang jauh lebih muda.

 Dengan penampilan yang  sangat khas, kulit gelap, kumis tebal melintang dan setiap kuliah pasti membawa koran Poskota yang digulung dan diletakkan di atas meja.

Mahasiswa yang belakangan menjadi teman baik,saya, namanya Yusuf Sugiman.

Kapan-kapan saya cerita tentang dia, kami sama-sama punya anak lelaki yang lahir di

tahun, bulan, tanggal bahkan jam yang sama.

 

“Ya sudah, karena ada yang belum mengerti, saya ulangi ya”, sambung beliau

“Tolong semua perhatikan baik-baik”, ujar beliau dengan cukup tegas.

Waduh, ada perasaan tidak enak yang menjalar di dalam dada. Tapi apa mau dikata

pertanyaan sudah terlontar,  ya sudah terima nasib saja deh.

 

Diluar dugaan saya beliau tidak langsung menjelaskan pada bagian yang saya tanyakan,

namun memulai menjelaskan sekali lagi dari awal, mulai dari pojok kiri atas papan tulis

pertama. Flowchart yang rumit dan berbelit-belit, kalau tidak salah awal dari pelajaran

 Common Oriented Business Language.

 Sesekali beliau berhenti, menghadap ke kelas dan bertanya “Bisa diikuti ?’”. Ada yang

menjawab “Bisa Pak”, ada yang cuma menganggukkan kepala, ada yang diam saja

. Biasalah tingkah mahasiswa, sejak dulu sampai sekarang sepertinya sama saja.

 

“Kamu?”, tanya beliau ke saya sambil menunjuk menggunakan spidol yang

 digenggamnya.

“Ngerti Pak”, jawab saya dengan gugup.

Siapa yang tidak gugup, tiba-tiba ditanya dengan tegas, sambil ditunjuk pula.

”Waduh marah dia” pikir saya dalam hati.

Rupanya beliau tahu saya tidak menyimak ke papan tulis, tapi pada catatan yang ada di

 meja saya. Kan sama saja pikir saya saat beliau sedang menerangkan.

Yang di buku, kan disalin dari papan tulis juga.

Setelah jadi dosen ternyata ada perasaan diremehkan juga jika mahasiswa tidak

menyimak ke papan tulis saat kita menerangkan sesuatu.

He he he, karma kali ya.

 

Menjelang sampai di bagian kanan atas  papan tulis sebelah kanan, di bagian yang saya

 masih belum jelas.

Beliau berhenti, khusus menunjuk pada saya dan berkata “Perhatikan baik-baik ya” lalu

 melanjutkan menjelaskan.

 

Saya sudah lupa juga flowchart tentang apa tetapi sejauh yang saya ingat kalau tidak

 salah topiknya tentang “Control Break”.

Karena ada pengulangan-pengulangan yang dilakukan baru akhirnya berhenti.

What ever lah pokoknya saat itu saya bingung di bagian itu.

 

Selesai menjelaskan beliau berkata “Sudah jelaskan kan sekarang ya ?” sambil

memandang kelas, scanning dari kiri ke kanan, dari depan ke belakang.

Semua terlihat lega dan rileks, kecuali saya yang masih bingung juga.

Saat beliau kembali kemeja, tiba-tiba beliau membalikkan badan dan menunjuk saya,

 seperti tadi dengan spidol dalam genggamannya, “Sudah jelas ?”.

Saya mengangkat kepala dari catatan yang ada di meja di depan saya, seluruh kelas

kembali memandang saya dengan wajah yang sulit saya jelaskan, tapi pasti terasa apa

yang mereka sedang pikirkan.

Dengan gugup saya menjawab “Masih agak bingung pak,”

“Sepertinya tidak begitu Pak”, saya lanjutkan

Ada kalimat saya berikutnya yang mendebat atau menafikan apa yang beliau sampaikan,  tapi kalimatnya apa sudah lupa. Maklum 42 tahun yang lalu.

“Siapa nama kamu?”, tajam sekali pertanyaan beliau

“Hestya Pak”, jawab saya dengan spontan.

 

“Begini ya, sekarang kita break dulu, nanti kita lanjutkan”, jelas sekali beliau menahan

 emosi.

 

Kuliah COBOL saat itu adalah 2 Sesi, (2 X 90 menit) dengan istirahat 15 menit diantara

tiap sesi.,Lalu sambil mengemasi barang-barangnya yang ada di meja dosen, beliau

berkata ke  pada seluruh kelas.

“Tolong jelaskan ke dia ya”, sambil menunjuk saya, dan kembali bertanya

“Siapa tadi nama kamu?”.

“Hestya Pak” jawab saya sekali lagi.

“Nah tolong jelaskan ke Hestya, karena cuma dia di kelas ini yang belum ngerti”,

 

Tiba-tiba bel tanda waktu akhir sesi berbunyi.Saat itu jam masuk dan jam keluar 

ditandai dengan bunyi bel yang sangat khas.

Berat dan ngebas suaranya, “DeeeeeeeD”

“Saya istirahat dulu”, lanjut beliau

Riuh rendahlah seisi kelas, bersamaan dengan keluarnya beliau dari kelas.

Saya hanya bisa terdiam, di tempat duduk, dan tidak tahu harus berbuat atau berkata

 apa-apa. Macam-macam lah yang disampaikan teman-teman sekelas.

Tetapi mayoritas keluar kelas untuk istirahat.

Tidak ada satupun teman sekelas yang mendatangi saya untuk menjelaskan.

Ya sudah, pasrah dan diam di kelas saja menunggu sesi ke dua

Bel berbunyi, tanda sesi kedua dimulai

Beliau masuk ke kelas.

Kalimat pertama yang diucapkan adalah “Siapa yang tadi bertanya?”

Seluruh kelas dengan riuh menjawab “Hesstttyyaaa Pak”

Terbayang kan apa yang saya rasakan, semua berteriak sambil menudingkan jarinya.

“Duduknya selalu di belakang pak”, ada saja yang menambahkan

Beliau mengetuk-ngetukkan spidol yang dipegangnya ke papan tulis, untuk

 menenangkan kelas.

Lalu berkata “Kalian semua tahukan apa yang disampaikan oleh dia kan ?”

Ramai lah kelas saling dahulu mendahului untuk menyatakan

 “Tahu Pak, tahu”

“Pasti tahu pak”

“Jelas Pak”

macam-macam lah ungkapannya, sambil mencibir, mengejek bahkan menertawakan

 saya,

 

“Nah ternyata saya salah, dan dia yang benar !”, tegas sekali kalimat yang beliau

sampaikan.

 

Kelas langsung terdiam, semua menengok ke belakang kali ini dengan pandangan takjub

 menurut saya sih, he he he..

 

Darah mendesir di tubuh saya, saat mendengar kalimat “Dia yang benar”.

“Dia yang Benar”, “Dia yang Benar”, “Dia yang benar”,

rasanya menggaung di telinga berkali-kali.

“Coba Hestya kamu maju kesini jelaskan ke teman-teman apa pendapat kamu tadi”

tiba-tiba saja beliau mengacungkan spidolnya ke arah saya.

 

Oh iya ada permintaan beliau ke kelas sebelum istirahat, yaitu untuk tidak menghapus

 apa yang ada di papan tulis.

 

Bayangkan apa yang berkecamuk di dalam diri saya saat diminta maju dan menjelaskan

 ke seluruh kelas.

Ada rasa takut salah, ada rasa bangga, ada rasa gembira, macam-macam, campur aduk, panas dingin.

 Yang jelas semua menyimak dengan diam termasuk beliau, Bpk. Djaetun.

Di situ di saat itu saya pertama kali berhadapan langsung dengan beliau yang secara langsung atau tidak langsung mengubah jalan hidup saya menjadi seperti sekarang.

Next time saya lanjutkan interaksi kedua saya dengan beliau.

21 Februari, 2021

Hestya Patrie : Ulang Tahun Budi Luhur

 

 

 

Mengapa Ulang Tahun Budi Luhur 1 April

Prambanan

Yogyakarta

 

Antara 2017-2018

Disuatu sore hari saat berkunjung ke Bpk. Djaetun HS bersama Bpk. Moh.Sjukani di Prambanan.

Tepatnya di rumah beliau di Manisrenggo, kami berbincang-bincang di teras depan. Tidak ada sesuatu

yang resmi atau formal yang kami sampaikan. Karena memang sudah bertahun-tahun sejak kami, saya

 dan Bpk. Sjukani, tidak punya jabatan formal kedatangan kami ke Prambanan lebih berorientasi silaturahmi. Kangen-kangenan. Saling Menyapa. Pokoknya yang ringan-ringan, mendengarkan ce

rita beliau yang selalu menarik untuk kami, dan selalu diselipi dengan petuah, pandangan hidup dan tuntunan kebajikan yang memang sudah begitu dari sononya.

Memang awal-awalnya beliau suka bertanya :”Ada berita apa Mas”, atau “Si Fulan bagaimana Mas” dan beragam pertanyaan tentang aktivitas maupun orang-perorang.

Namun sejak awal memang kami tidak pernah menjawab dan selalu bilang 

“Nggak tahu” atau “Nggak denger”,

 Entah kesal atau memang bisa menghargai positioning yang kami ambil, akhirnya pertanyaan-

pertanyaan yang menyangkut kehidupan UBL tidak pernah ditanyakan lagi.

Pembicaraan hanya seputar kehidupan pribadi dan keluarga 

yeee hia.

 

Sore itu ngobrol di teras sambil menunggu malam datang, kita bersepakat untuk  makan malam , entah

nama restorannya apa, yang penting makaaan, he he he.

Seingat saya saat itu di sekitar awal Maret hanya lupa tahunnya 2017 atau 2018, kami bertiga duduk di

 teras depan beliau seperti biasanya duduk menghadap ke arah jalan, Pak MS disebelah beliau, dan saya

di kursi yang lain.

 

Canggih memang Pak MS, Bpk. DHS tidak akan membolehkan beliau jauh-jauh, kalau muat pasti

dikursi/sofa yang sama, atau setidaknya dalam jangkauan atau rengkuhan tangan beliau. 

Di mobil punpasti sebaris dengan beliau di baris tengah, saya yang di depan dengan supir, seolah-olah ajudan beliau

 , he he he.

 Obrolan ringan ringan menghabiskan waktu, atau orang jawa bilang obrolan ngalor-ngidul sampailah

pada pertanyaan saya ke beliau. “Pak kok Budi Luhur ulang tahunnya 1 April”

Beliau langsung memandang saya dan menjawab dengan santai, namun terasa tegas

 

 “Lah Kamu Yang Milih Kok Nanya?”

“Kan kamu yang bilang, agar mudah diingat orang, soalnya April Mop”, sambung beliau.

 

Dalam hati saya langsung berpikir “Waduh kok bisa lupa ya”.

 

Bpk. DHS langsung menyambung dengan kalimat pengingat

 “Ingat nggak Hes, kita waktu itu di Budi Utomo sore-sore sedang memikirkan kapan mau meresmikan

AIK dengan tumpengan bersama anak-anak 78” .

 Dengan mahasiswa angkatan 1978 maksudnya. Kemudian saat itu disambung lagi oleh beliau

 

 “Kan saya tanya sama kamu, Enaknya kapan ya ?”

 

Saya langsung seperti tersadar, seperti bangun dari koma barangkali, karena semua memori tentang itu

seakan terhapus dari ingatan, atau berada di alam bawah sadar.

Sambil mendengarkan beliau melanjutkan kalimatnya, semua peristiwa yang terjadi saat itu di tahun

1979 seakan-akan menari-nari di depan mata.

 

Terus dilanjutkan “Kamu kan yang bilang 1 April saja kan April Mop biar mudah diingat”

 

Kalimat beliau membawa pikiran saya untuk flashback ke tahun 1979, ke Jl. Budi Utomo 11, sebelah

RTM, Rumah Tahanan Militer, diujung arah ke Jl. Gunung Sahari.

Saat itu saya karyawan rendahan, seorang yang terpaksa bekerja sebagai pesuruh kantor akibat harus

 berhenti kuliah dari FTUI dengan NIM 047101028, 04 teknik, 71 angkatan, 01 sipil, 028 nomor urut.

Kapan-kapan saya ceritakan deh kok bisa kerja jadi pesuruh kantor.

Yang punya mimpi ingin jadi jago komputer gara-gara lihat iklan sekolah komputer di koran, lupa

 korannya apa. Iklan dari IIK,  Institut Ilmu Komputer, yang menjanjikan untuk jadi ahli dibidang

komputer, bahkan sudah bisa mencari kerja setelah menyelesaikan tahun pertama.

Saat itu komputer adalah sesuatu yang belum bisa dibayangkan seperti apa, cuma pernah dengar dan

pasti canggihlah, pasti istimewalah orang-orangnya.

 

Tahun 1978 mendaftarlah saya ke IIK di Jl. Budi Kemuliaan. Tempat kuliahnya ternyata hotel, weleh-

weleh hotel full AC. Hotel Sabang Setiabudi.

Boro-boro AC di rumah, kipas angin saja ngak punya.  Kuliah dengan perasaan campur aduk, karena ingin mengubah nasib, setelah dengan segala keterpaksaan dan kesedihan harus berhenti dari FTUI. Berhenti

dan bukan DO. Eit ngelantur lagi bukan IIK yang mau diceritakan, ini episode lain yah.

Begitu matahari sudah mulai masuk ke peraduannya, beliau bertanya “Gimana Hes mau Maghrib dulu

sebelum cari makan atau langsung saja?”

Saya lihat-lihatan dengan P. MS, “Terserah”, kata Pak. MS

“Langsung saja Pak, saya dan Pak. Sjukani kan musafir”, jawab saya ke Bpk. DHS.

“Ya sudah, yuk berangkat”, ajak beliau.

 

Pajero Sport sudah dihidupkan, pintu sudah terbuka, siap menunggu.

Seperti sudah diduga, Bpk, Djaetun dibangku tengah kiri, Pak. Sjukani bangku tengah kanan, di belakang supir dan saya biasa “ajudan” di depan kiri. Badan besar tapi kursi harus rapat ke depan, lah ada Bpk.Djaetun di belakang saya.

 Begitu mobil bergerak, beliau bertanya “Sudah pernah makan di …”,  Kurang jelas nama restoran yang

disebut beliau, yang melintas di pikiran hanya, mau dimana, makan apa, yang penting maakaaaan. Maka jawaban saya “Belum pak”. Mau sudah, mau belum, yang penting makan kan ? 

dan masa iya Bpk Djaetun ngajak makan yang tidak enak. He he he.

 Langsung beliau berbahasa Jawa ke sopirnya Pak Boman

 “Neng iku loh Man, sing cedak ,,,,,,,”

 Selesai makan beliau bertanya “Nginap dimana Hes?”

Saya jawab “Hotel Ibis Malioboro Pak”

“Man, neng Hotel Ibis sik yo, ngeterno Pak Sjukani karo Pak Hestya” Ujar beliau ke Boman supirnya.

 Beliau sudah tidak heran lagi kalau kami ke Yogya, Pak Sjukani selalu bahkan harus menginap di HotelIbis Malioboro.

 

Dipikir-pikir kok ya bisa, saya yang usul 1 April malah saya yang lupa he he he

He he he akhir cerita keeenyaaannnnnng.