21 Februari, 2021

Hestya Patrie : Ulang Tahun Budi Luhur

 

 

 

Mengapa Ulang Tahun Budi Luhur 1 April

Prambanan

Yogyakarta

 

Antara 2017-2018

Disuatu sore hari saat berkunjung ke Bpk. Djaetun HS bersama Bpk. Moh.Sjukani di Prambanan.

Tepatnya di rumah beliau di Manisrenggo, kami berbincang-bincang di teras depan. Tidak ada sesuatu

yang resmi atau formal yang kami sampaikan. Karena memang sudah bertahun-tahun sejak kami, saya

 dan Bpk. Sjukani, tidak punya jabatan formal kedatangan kami ke Prambanan lebih berorientasi silaturahmi. Kangen-kangenan. Saling Menyapa. Pokoknya yang ringan-ringan, mendengarkan ce

rita beliau yang selalu menarik untuk kami, dan selalu diselipi dengan petuah, pandangan hidup dan tuntunan kebajikan yang memang sudah begitu dari sononya.

Memang awal-awalnya beliau suka bertanya :”Ada berita apa Mas”, atau “Si Fulan bagaimana Mas” dan beragam pertanyaan tentang aktivitas maupun orang-perorang.

Namun sejak awal memang kami tidak pernah menjawab dan selalu bilang 

“Nggak tahu” atau “Nggak denger”,

 Entah kesal atau memang bisa menghargai positioning yang kami ambil, akhirnya pertanyaan-

pertanyaan yang menyangkut kehidupan UBL tidak pernah ditanyakan lagi.

Pembicaraan hanya seputar kehidupan pribadi dan keluarga 

yeee hia.

 

Sore itu ngobrol di teras sambil menunggu malam datang, kita bersepakat untuk  makan malam , entah

nama restorannya apa, yang penting makaaan, he he he.

Seingat saya saat itu di sekitar awal Maret hanya lupa tahunnya 2017 atau 2018, kami bertiga duduk di

 teras depan beliau seperti biasanya duduk menghadap ke arah jalan, Pak MS disebelah beliau, dan saya

di kursi yang lain.

 

Canggih memang Pak MS, Bpk. DHS tidak akan membolehkan beliau jauh-jauh, kalau muat pasti

dikursi/sofa yang sama, atau setidaknya dalam jangkauan atau rengkuhan tangan beliau. 

Di mobil punpasti sebaris dengan beliau di baris tengah, saya yang di depan dengan supir, seolah-olah ajudan beliau

 , he he he.

 Obrolan ringan ringan menghabiskan waktu, atau orang jawa bilang obrolan ngalor-ngidul sampailah

pada pertanyaan saya ke beliau. “Pak kok Budi Luhur ulang tahunnya 1 April”

Beliau langsung memandang saya dan menjawab dengan santai, namun terasa tegas

 

 “Lah Kamu Yang Milih Kok Nanya?”

“Kan kamu yang bilang, agar mudah diingat orang, soalnya April Mop”, sambung beliau.

 

Dalam hati saya langsung berpikir “Waduh kok bisa lupa ya”.

 

Bpk. DHS langsung menyambung dengan kalimat pengingat

 “Ingat nggak Hes, kita waktu itu di Budi Utomo sore-sore sedang memikirkan kapan mau meresmikan

AIK dengan tumpengan bersama anak-anak 78” .

 Dengan mahasiswa angkatan 1978 maksudnya. Kemudian saat itu disambung lagi oleh beliau

 

 “Kan saya tanya sama kamu, Enaknya kapan ya ?”

 

Saya langsung seperti tersadar, seperti bangun dari koma barangkali, karena semua memori tentang itu

seakan terhapus dari ingatan, atau berada di alam bawah sadar.

Sambil mendengarkan beliau melanjutkan kalimatnya, semua peristiwa yang terjadi saat itu di tahun

1979 seakan-akan menari-nari di depan mata.

 

Terus dilanjutkan “Kamu kan yang bilang 1 April saja kan April Mop biar mudah diingat”

 

Kalimat beliau membawa pikiran saya untuk flashback ke tahun 1979, ke Jl. Budi Utomo 11, sebelah

RTM, Rumah Tahanan Militer, diujung arah ke Jl. Gunung Sahari.

Saat itu saya karyawan rendahan, seorang yang terpaksa bekerja sebagai pesuruh kantor akibat harus

 berhenti kuliah dari FTUI dengan NIM 047101028, 04 teknik, 71 angkatan, 01 sipil, 028 nomor urut.

Kapan-kapan saya ceritakan deh kok bisa kerja jadi pesuruh kantor.

Yang punya mimpi ingin jadi jago komputer gara-gara lihat iklan sekolah komputer di koran, lupa

 korannya apa. Iklan dari IIK,  Institut Ilmu Komputer, yang menjanjikan untuk jadi ahli dibidang

komputer, bahkan sudah bisa mencari kerja setelah menyelesaikan tahun pertama.

Saat itu komputer adalah sesuatu yang belum bisa dibayangkan seperti apa, cuma pernah dengar dan

pasti canggihlah, pasti istimewalah orang-orangnya.

 

Tahun 1978 mendaftarlah saya ke IIK di Jl. Budi Kemuliaan. Tempat kuliahnya ternyata hotel, weleh-

weleh hotel full AC. Hotel Sabang Setiabudi.

Boro-boro AC di rumah, kipas angin saja ngak punya.  Kuliah dengan perasaan campur aduk, karena ingin mengubah nasib, setelah dengan segala keterpaksaan dan kesedihan harus berhenti dari FTUI. Berhenti

dan bukan DO. Eit ngelantur lagi bukan IIK yang mau diceritakan, ini episode lain yah.

Begitu matahari sudah mulai masuk ke peraduannya, beliau bertanya “Gimana Hes mau Maghrib dulu

sebelum cari makan atau langsung saja?”

Saya lihat-lihatan dengan P. MS, “Terserah”, kata Pak. MS

“Langsung saja Pak, saya dan Pak. Sjukani kan musafir”, jawab saya ke Bpk. DHS.

“Ya sudah, yuk berangkat”, ajak beliau.

 

Pajero Sport sudah dihidupkan, pintu sudah terbuka, siap menunggu.

Seperti sudah diduga, Bpk, Djaetun dibangku tengah kiri, Pak. Sjukani bangku tengah kanan, di belakang supir dan saya biasa “ajudan” di depan kiri. Badan besar tapi kursi harus rapat ke depan, lah ada Bpk.Djaetun di belakang saya.

 Begitu mobil bergerak, beliau bertanya “Sudah pernah makan di …”,  Kurang jelas nama restoran yang

disebut beliau, yang melintas di pikiran hanya, mau dimana, makan apa, yang penting maakaaaan. Maka jawaban saya “Belum pak”. Mau sudah, mau belum, yang penting makan kan ? 

dan masa iya Bpk Djaetun ngajak makan yang tidak enak. He he he.

 Langsung beliau berbahasa Jawa ke sopirnya Pak Boman

 “Neng iku loh Man, sing cedak ,,,,,,,”

 Selesai makan beliau bertanya “Nginap dimana Hes?”

Saya jawab “Hotel Ibis Malioboro Pak”

“Man, neng Hotel Ibis sik yo, ngeterno Pak Sjukani karo Pak Hestya” Ujar beliau ke Boman supirnya.

 Beliau sudah tidak heran lagi kalau kami ke Yogya, Pak Sjukani selalu bahkan harus menginap di HotelIbis Malioboro.

 

Dipikir-pikir kok ya bisa, saya yang usul 1 April malah saya yang lupa he he he

He he he akhir cerita keeenyaaannnnnng.

Hestya Patrie - Activity Diagram untuk Use Case Narrative



















 

18 Februari, 2021

Hestya Patrie : Historical Moment in My Life Periode 1978-1980

 


Jujur harus saya akui Bpk. Djaetun HS adalah salah satu orang yang ikut membentuk saya seperti sekarang. 

Mulai kenal beliau saat kuliah di Institut Ilmu Komputer tahun 1978, pertemuan pertama terjadi saat beliau mengajar matakuliah COBOL, Common Business Oriented Language. Pertemuan yang terjadi selalu dalam peristiwa-peristiwa yang, menurut saya, luar biasa.

Kapan-kapan saya ceritakan bagaimana saya selalu dipertemukan dengan beliau dalam keadaan yang menurut saya tidak biasa. Sampai pernah suatu saat di tahun 1978 beliau mengucapkan kata-kata yang ditujukan ke saya yaitu:

 “Alang-alang bisa dibedakan dari rumput Mas”.

Kalimat yang maknanya apa saya juga tidak tahu. 

Dan lucunya di tahun 2019 yang baru lalu, saya pernah konfirmasi ke beliau di Prambanan. Apa maksud beliau mengucapkan itu, beliau malah menjawab

:”Memang saya pernah ngomong begitu?”, ucap beliau. 

Dan dilanjutkan dengan “Saya juga nggak tahu Mas”.

He he he , yooo wess.

 Bpk. DHS, kadang menyebut saya dengan nama, tapi hanya sepenggal yaitu “Hes”, tapi dalam pembicaraan lebih sering menyebut saya dengan “Mas”.

 Kuliah semester satu di IIK lalu terpaksa eksodus menjelang semester dua ikut Bpk. Djaetun yang mendirikan AIK,

Kapan-kapan saya ceriterakan mengapa harus ekodus dan mengapa beliau harus atau terpaksa atau dibimbing oleh NYA untuk mendirikan Akademi Ilmu Komputer.

Versi saya tentu bukan versi spiritual ya, tapi versi logika, versi nalar, versi fakta yang faktual. Yang saya alami dan saya ketahui.

Nanti, tunggu sampai peristiwa itu muncul di foreground otak saya baru bisa saya tuliskan. Cerita tentang eksodus ada di dalam kepala tapi masih di background atau para psikolog sering bilang ada di alam bawah sadar.

 Kembali ke Laptop ya.

Kalau dirunut detilnya panjang sekali, tapi singkatnya seperti berikut:

Saat mulai kuliah di IIK saya sedang bekerja di Jl. Gajah Mada No. 156 LL, di dalam jalan buntu. Sebelum jembatan menjelang Olimo, pada “Pedada Co. PTE LTD”, sebuah Perusahaan kayu Singapura yang mengurus Hak Pengusahaan Hutan, HPH, di daerah Sangkulirang, Kutai, Kalimantan Timur, sebagai Helper, bahasa keren untuk orang yang kerjanya bantu-bantu. Pesuruh kantor kali yak.

Segala macam lah dibantuin, mulai dari membersihkan ruangan, meja, kirim surat ke kantor pos, disuruh beli makanan, nyuci mobil, sampai nganterin Bos-bos ke bandara, ngangkat-ngakat koper. Pokoknya di office, kantor he he he, kalau ada yng perlu bantuan akan cari saya “Hes, bantuin ya”, “Hestya mana? Suruh bantuin saya”, “Ask Hestya to help you”, “Hes anter saya”, segala macam kata-kata lah, yang intinya nyuruh bantuin.

Dikit-dikit cari saya, ada apa cari saya, perlu sesuatu cari saya, pokoknya harus ready dan stand by sepanjang hari.

Kadang baru mulai menyuapkan makan siang kemulut, belum sampai ketelan sudah ada teriakan “Hestya !, come to my office !”,tergopoh-gopoh deh saya lari.

Kalau dibaca ceriteranya saat ini kayaknya sedih amat ya, kerja kaya gitu. Tapi saat itu nggak terasa tuh. Biasa-biasa saja, masih muda sih sekitaran 21/22. Dan baru semangat-semangatnya nyari uang untuk membiayai Kakak dan Adik yang dalam pikiran saya saat itu harus jadi sarjana untuk bisa mengangkat derajat keluarga. Yang saat itu sangat terpuruk di dasar strata kehidupan.

Kapan-kapan saya punya ceritera tentang hal itu.

Saat menjelang akhir semester satu di IIK, sebelum terjadi eksodus, saya berada pada pilihan yang sangat sulit dalam hidup ini.

Perusahaan tempat saya kerja harus menutup kantornya di Jakarta, dan pindah ke Samarinda. Dari sekian banyak pegawai yang ada, satu teman saya namanya Heri, Seorang Cina Jawa, maaf tdk ada maksud sara, ingin pulang ke Yogya,

 “Saya mau pulang aja Hes, mau bantu-bantu usaha keluarga, bapak saya punya toko buku” Kalau sekarang lokasinya di Taman Pintar kurang lebih.

Semenjak berpisah dengan Heri, tahun 1978, nggak pernah ketemu lagi sampai hari ini,Nggak tahu masih apa sudah wafat beliau

Eh salah , Heri pernah sekali ke rumah saya, rumah Ibu saya he he he, di Taman Rawa Pening IV No.. 22 Bendungan Hilir. Saat itu Heri naik motor dan pamit ke saya

 “Hes, saya jadi pulang ke Yogya”, dan disambung “Sinta sekarang jadi isteri saya”.

Sinta teman seruangan Heri di bagian akuntansi, perempuan Cina, sekali lagi bukan sara, tapi biar positioningnya jelas ya,  yang suka minta tolong ke saya. 

Saya datang sekitar jam 07:00 pagi dan Sinta biasanya hampir bareng, padahal kantor masuk jam 08:00, untuk: 

“Hes tunggu di depan pintu ya”, pintu depan kantor maksudnya, 

“Baik Bu” jawab saya. 

Disuruh ngawasin kalau sampai ada yang datang suruh kasih tahu dia.

Tahu nggak Sinta ngapain, “Pasang selotip di kelopak matanya”, soalnya sebagai perempuan Cina ia tidak punya lipatan di kelopak matanya. 

Lipatan di kelopak mata di bagian ujung dekat bulu mata. Coba yang ibu-ibu perhatikan, ada kan ?. nah Sinta nggak punya lipatan itu, jadi tiap pagi dia bikin pakai selotip.

Ha ha ha, saya yang jadi satpamnya.Baru sekarang terpikir sama saya , jangan-jangan lipatan di kelopak mata itu yang bikin Heri jadi naksir Sinta.

Ikut ke Samarinda berarti berhenti kuliah, padahal saya pengen banget kuliah, karena dalam benak saya  satu-satunya jalan untuk mengangkat derajat kehidupan saya yaitu jadi Sarjana.

 Apalagi belajar komputer di IIK saat itu tidak ada tandingannya. Ditambah lagi janji di iklan IIK yang sudah bisa kerja jadi Programmer setelah nyelesaikan kuliah satu tahun.

Saya nekat milih berhenti saja. 

Mr. Koh bos saya, yang sangat baik & sayang sama saya, sampai bilang 

“You Come to Samarinda with me Ok?”, 

“Kenapa mau stop working”.

Saya Cuma jawab “Saya mau kuliah”.

Akhirnya dapet uang putus kerja yang menurut saya lumayan, lupa juga sih nilainya, pokoknya menurut hitung-hitungan saya cukuplah untuk biaya hidup sampai lulus kuliah di IIK.  

Yang saya ingat Mr. Koh bilang pada saya saat saya pamit

“One day visit me at Singapore hah” 

“I’ll never forget you lah” dengan logat Singapore yang kental. 

Beliau menyalami saya dengan kedua tangannya. 

Genggamannya erat sekali dan terakhir berkata pada saya. 

“Ok, you go lah, Good luck to you, thank you hah”, beliau langsung berbalik badan dan menghilang ke dalam ruangannya. 

Sayangnya itu pertemuan saya yang teakhir dengan Mr. Koh.

Baru semangat-semangatnya kuliah, terjadi gonjang –ganjing di IIK, dan bak dunia mau kiamat adik saya yang ke dua, Mutiara namanya, terkena Kanker tulang. 

Lutut kanannya membesar, vonis kanker tulang ya menyedot seluruh tabungan saya untuk menolong adik saya Mutiara. 

Saat itu tidak ada cara menolong, kemoterapi belum dikenal, kecuali untuk membuatnya nyaman. Apalagi almarhum adik saya itu hanya mau diangkat untuk dipindah posisikan oleh saya. Tangan Ees enak, dia memanggil saya dengan sebutan itu,

Bayangkan betapa hancur, galau, sedih, entah apa lagi yang bisa dikatakan. 

Hati saya selalu berdebar kencang saat berjalan pulang pada malam hari sepulang dari kuliah di IIK. Jalan kaki dari halte bis Bendungan Hilir ke rumah memakan waktu kurang lebih 15 menit. 

Sebuah jalan menanjak menanti di ujung Taman Rawa Pening, sebelum berbelok ke kanan menuju arah ke rumah.  Makin dekat ke rumah makin kencang jantung berdebar takut ada bendera kuning diujung gang

Singkat ceritera Mutiara berpulang, hati hancur, tabungan habis.IIK Gonjang-ganjing.

Semua datang bertubi-tubi.   

Intinya terpaksa cari jalan supaya bisa kuliah, apapun saya lakukan untuk AIK, tempat saya menggantungkan harapan, yang pada saat itu saya tidak tahu juga dan yang pasti memang tidak ada lagi tempat menggantungkan harapan masa depan saya selain di AIK. Apapun saya lakukan.

Dari mulai memasang instalasi lampu di kampus IIK,

Buat papan Nama Akademi Ilmu Komputer, mulai dari motong multipleks, sampai ngecet dan memasangnya di genteng  kelas paling depan yang menghadap ke jalan Budi Utomo.

Waktu itu memang Pak. Djaetun ingin AIK punya papan nama, beliau meminta saya untuk membuatkan. 

Tidak ngasih uang, tidak ngasih bahan, pokoknya hanya minta dibuatkan papan nama. 

Ya sudah saya pakai uang saya untuk buat papan nama itu, berapa besarnya ya ngak ingat juga sih, tapi kalau mau hitungan bisa juga sih. Seingat saya itu tabungan terakhir saya. Selesai papan nama itu dipasang ditempat yang beliau inginkan. Habis sudah uang saya, kantong kosong, song, song. 

Ada rasa bangga bercampur aduk dengan sedih, bingung, juga perasaan hampa waktu Bpk. DHS hanya bilang “Bagus Hes”. Itu saja tidak nanya berapa biayanya. Dapat duit dari mana, pokoknya Cuma satu kata “Bagus” that’s it.

Saya mau bilang “Pakai uang saya Pak”, orang jawa bilang ora kewetu. Ya sudah saya mantapkan hati suatu saat akan bilang kalau pas akan bayaran uang kuliah. Tapi tidak pernah terucapkan, bahkan sampai hari ini.

Pokoknya bagaimana caranya tiap hari dari BendHil, Bendungan Hilir, bisa hadir di kampus untuk ikut mengerjakan apa saja, atau ke sekretariat AIK di jl. Senen Raya.

Lah, nganggur, ngak punya uang, tapi ingin kuliah. Ya segala cara saya lakukan yang penting terlihat oleh Bpk. DHS saya sedang melakukan sesuatu, atau siap dimintai tolong oleh beliau.

Dasarnya kan punya pengalaman jadi helper selama -/+ 5 tahun, ngerjain segala macam. Mungkin itu jalan dari NYA, jadi bantuan apapun yang dibutuhkan oleh Bpk. Djaetun, pasti bisa saya lakukan. 

Udah lupa juga sih apa saja yang dilakukan atau dikerjakan, tapi yang jelas bayangkan Gudang Militer di sudut jalan Budi Utomo dan jalan Gunung Sahari dipersiapkan untuk jadi 3 ruang kuliah.

Apa yang bisa saya lakukan, akan saya lakukan,

Apa yang bisa saya kerjakan, akan saya kerjakan

Apa yang bisa saya bantu, akan saya bantu

Saking seringnya ada di Budi Utomo, sampai kenal BuDe, semua orang memanggilnya begitu, yang punya warung kecil jual nasi.

Dan entah pemilik, entah penguasa, atau apalah, namanya Pak Hadi yang mengontrakkan Gudang tersebut ke Pak Djaetun. 

Kelak anaknya Heru, kalau tdk salah,  jadi mahasiswa angkatan pertama, angkatannya Suryanto. Perantauan asal Ambarawa, yang suatu saat, karena kasihan melihatnya, saya ajak ketemu Bpk. Djaetun HS dan akhirnya ikut bantu-bantu di Lab Komputer.

Kapan-kapan saya cerita, bagaimana kami, saya dan Suryanto sering banget mampir di Duta Suara, di jalan Sabang, ke Lapangan tenis Senayan, nonton atau melamun bareng ngak jelas lah.

Melihat saya kerja macam-macam, pak Hadi suka membuatkan Es Kopi. Minuman apa itu saya nggak tahu. Awalnya waktu beliau bilang “Nak Hestya mau Es Kopi?”

Rupanya dari ngobrol-ngobrol dengan saya itu barangkali, beliau mendorong Heru, anaknya, untuk ikutan kuliah di AIK. 

Suryanto, Heru, sekedar contoh, bukan baru tamat SMA, tapi sudah bangkotan. Entah magnit apa yang dimiliki oleh AIK jadi pada kuliah lagi,. Dan sejauh pengamatan saya, semua yng kuliah di AIK sukses semua dengan porsinya masing-masing

Begitu seringnya terlihat oleh Bpk. Djaetun, dan semaksimal mungkin mewujudkan apa yang beliau butuhkan atau inginkan, entah sebetulnya beliau puas atau tidak. 

Akhirnya saya bisa kuliah gratis, sambil jadi asisten dosen, sambil jadi “penguasa” Lab Komputer, sambil tetap seperti awal,

ready to do, 
ready to help, 
ready to serve.buat AIK. 

Sampai dinyatakan lulus dari AIK pada tahun 1980. Sebagai lulusan pertama.

Ada cerita tersendiri, tentang sistem ujian komprehensip yang super duper maut nya.