18 Februari, 2021

Hestya Patrie : Historical Moment in My Life Periode 1978-1980

 


Jujur harus saya akui Bpk. Djaetun HS adalah salah satu orang yang ikut membentuk saya seperti sekarang. 

Mulai kenal beliau saat kuliah di Institut Ilmu Komputer tahun 1978, pertemuan pertama terjadi saat beliau mengajar matakuliah COBOL, Common Business Oriented Language. Pertemuan yang terjadi selalu dalam peristiwa-peristiwa yang, menurut saya, luar biasa.

Kapan-kapan saya ceritakan bagaimana saya selalu dipertemukan dengan beliau dalam keadaan yang menurut saya tidak biasa. Sampai pernah suatu saat di tahun 1978 beliau mengucapkan kata-kata yang ditujukan ke saya yaitu:

 “Alang-alang bisa dibedakan dari rumput Mas”.

Kalimat yang maknanya apa saya juga tidak tahu. 

Dan lucunya di tahun 2019 yang baru lalu, saya pernah konfirmasi ke beliau di Prambanan. Apa maksud beliau mengucapkan itu, beliau malah menjawab

:”Memang saya pernah ngomong begitu?”, ucap beliau. 

Dan dilanjutkan dengan “Saya juga nggak tahu Mas”.

He he he , yooo wess.

 Bpk. DHS, kadang menyebut saya dengan nama, tapi hanya sepenggal yaitu “Hes”, tapi dalam pembicaraan lebih sering menyebut saya dengan “Mas”.

 Kuliah semester satu di IIK lalu terpaksa eksodus menjelang semester dua ikut Bpk. Djaetun yang mendirikan AIK,

Kapan-kapan saya ceriterakan mengapa harus ekodus dan mengapa beliau harus atau terpaksa atau dibimbing oleh NYA untuk mendirikan Akademi Ilmu Komputer.

Versi saya tentu bukan versi spiritual ya, tapi versi logika, versi nalar, versi fakta yang faktual. Yang saya alami dan saya ketahui.

Nanti, tunggu sampai peristiwa itu muncul di foreground otak saya baru bisa saya tuliskan. Cerita tentang eksodus ada di dalam kepala tapi masih di background atau para psikolog sering bilang ada di alam bawah sadar.

 Kembali ke Laptop ya.

Kalau dirunut detilnya panjang sekali, tapi singkatnya seperti berikut:

Saat mulai kuliah di IIK saya sedang bekerja di Jl. Gajah Mada No. 156 LL, di dalam jalan buntu. Sebelum jembatan menjelang Olimo, pada “Pedada Co. PTE LTD”, sebuah Perusahaan kayu Singapura yang mengurus Hak Pengusahaan Hutan, HPH, di daerah Sangkulirang, Kutai, Kalimantan Timur, sebagai Helper, bahasa keren untuk orang yang kerjanya bantu-bantu. Pesuruh kantor kali yak.

Segala macam lah dibantuin, mulai dari membersihkan ruangan, meja, kirim surat ke kantor pos, disuruh beli makanan, nyuci mobil, sampai nganterin Bos-bos ke bandara, ngangkat-ngakat koper. Pokoknya di office, kantor he he he, kalau ada yng perlu bantuan akan cari saya “Hes, bantuin ya”, “Hestya mana? Suruh bantuin saya”, “Ask Hestya to help you”, “Hes anter saya”, segala macam kata-kata lah, yang intinya nyuruh bantuin.

Dikit-dikit cari saya, ada apa cari saya, perlu sesuatu cari saya, pokoknya harus ready dan stand by sepanjang hari.

Kadang baru mulai menyuapkan makan siang kemulut, belum sampai ketelan sudah ada teriakan “Hestya !, come to my office !”,tergopoh-gopoh deh saya lari.

Kalau dibaca ceriteranya saat ini kayaknya sedih amat ya, kerja kaya gitu. Tapi saat itu nggak terasa tuh. Biasa-biasa saja, masih muda sih sekitaran 21/22. Dan baru semangat-semangatnya nyari uang untuk membiayai Kakak dan Adik yang dalam pikiran saya saat itu harus jadi sarjana untuk bisa mengangkat derajat keluarga. Yang saat itu sangat terpuruk di dasar strata kehidupan.

Kapan-kapan saya punya ceritera tentang hal itu.

Saat menjelang akhir semester satu di IIK, sebelum terjadi eksodus, saya berada pada pilihan yang sangat sulit dalam hidup ini.

Perusahaan tempat saya kerja harus menutup kantornya di Jakarta, dan pindah ke Samarinda. Dari sekian banyak pegawai yang ada, satu teman saya namanya Heri, Seorang Cina Jawa, maaf tdk ada maksud sara, ingin pulang ke Yogya,

 “Saya mau pulang aja Hes, mau bantu-bantu usaha keluarga, bapak saya punya toko buku” Kalau sekarang lokasinya di Taman Pintar kurang lebih.

Semenjak berpisah dengan Heri, tahun 1978, nggak pernah ketemu lagi sampai hari ini,Nggak tahu masih apa sudah wafat beliau

Eh salah , Heri pernah sekali ke rumah saya, rumah Ibu saya he he he, di Taman Rawa Pening IV No.. 22 Bendungan Hilir. Saat itu Heri naik motor dan pamit ke saya

 “Hes, saya jadi pulang ke Yogya”, dan disambung “Sinta sekarang jadi isteri saya”.

Sinta teman seruangan Heri di bagian akuntansi, perempuan Cina, sekali lagi bukan sara, tapi biar positioningnya jelas ya,  yang suka minta tolong ke saya. 

Saya datang sekitar jam 07:00 pagi dan Sinta biasanya hampir bareng, padahal kantor masuk jam 08:00, untuk: 

“Hes tunggu di depan pintu ya”, pintu depan kantor maksudnya, 

“Baik Bu” jawab saya. 

Disuruh ngawasin kalau sampai ada yang datang suruh kasih tahu dia.

Tahu nggak Sinta ngapain, “Pasang selotip di kelopak matanya”, soalnya sebagai perempuan Cina ia tidak punya lipatan di kelopak matanya. 

Lipatan di kelopak mata di bagian ujung dekat bulu mata. Coba yang ibu-ibu perhatikan, ada kan ?. nah Sinta nggak punya lipatan itu, jadi tiap pagi dia bikin pakai selotip.

Ha ha ha, saya yang jadi satpamnya.Baru sekarang terpikir sama saya , jangan-jangan lipatan di kelopak mata itu yang bikin Heri jadi naksir Sinta.

Ikut ke Samarinda berarti berhenti kuliah, padahal saya pengen banget kuliah, karena dalam benak saya  satu-satunya jalan untuk mengangkat derajat kehidupan saya yaitu jadi Sarjana.

 Apalagi belajar komputer di IIK saat itu tidak ada tandingannya. Ditambah lagi janji di iklan IIK yang sudah bisa kerja jadi Programmer setelah nyelesaikan kuliah satu tahun.

Saya nekat milih berhenti saja. 

Mr. Koh bos saya, yang sangat baik & sayang sama saya, sampai bilang 

“You Come to Samarinda with me Ok?”, 

“Kenapa mau stop working”.

Saya Cuma jawab “Saya mau kuliah”.

Akhirnya dapet uang putus kerja yang menurut saya lumayan, lupa juga sih nilainya, pokoknya menurut hitung-hitungan saya cukuplah untuk biaya hidup sampai lulus kuliah di IIK.  

Yang saya ingat Mr. Koh bilang pada saya saat saya pamit

“One day visit me at Singapore hah” 

“I’ll never forget you lah” dengan logat Singapore yang kental. 

Beliau menyalami saya dengan kedua tangannya. 

Genggamannya erat sekali dan terakhir berkata pada saya. 

“Ok, you go lah, Good luck to you, thank you hah”, beliau langsung berbalik badan dan menghilang ke dalam ruangannya. 

Sayangnya itu pertemuan saya yang teakhir dengan Mr. Koh.

Baru semangat-semangatnya kuliah, terjadi gonjang –ganjing di IIK, dan bak dunia mau kiamat adik saya yang ke dua, Mutiara namanya, terkena Kanker tulang. 

Lutut kanannya membesar, vonis kanker tulang ya menyedot seluruh tabungan saya untuk menolong adik saya Mutiara. 

Saat itu tidak ada cara menolong, kemoterapi belum dikenal, kecuali untuk membuatnya nyaman. Apalagi almarhum adik saya itu hanya mau diangkat untuk dipindah posisikan oleh saya. Tangan Ees enak, dia memanggil saya dengan sebutan itu,

Bayangkan betapa hancur, galau, sedih, entah apa lagi yang bisa dikatakan. 

Hati saya selalu berdebar kencang saat berjalan pulang pada malam hari sepulang dari kuliah di IIK. Jalan kaki dari halte bis Bendungan Hilir ke rumah memakan waktu kurang lebih 15 menit. 

Sebuah jalan menanjak menanti di ujung Taman Rawa Pening, sebelum berbelok ke kanan menuju arah ke rumah.  Makin dekat ke rumah makin kencang jantung berdebar takut ada bendera kuning diujung gang

Singkat ceritera Mutiara berpulang, hati hancur, tabungan habis.IIK Gonjang-ganjing.

Semua datang bertubi-tubi.   

Intinya terpaksa cari jalan supaya bisa kuliah, apapun saya lakukan untuk AIK, tempat saya menggantungkan harapan, yang pada saat itu saya tidak tahu juga dan yang pasti memang tidak ada lagi tempat menggantungkan harapan masa depan saya selain di AIK. Apapun saya lakukan.

Dari mulai memasang instalasi lampu di kampus IIK,

Buat papan Nama Akademi Ilmu Komputer, mulai dari motong multipleks, sampai ngecet dan memasangnya di genteng  kelas paling depan yang menghadap ke jalan Budi Utomo.

Waktu itu memang Pak. Djaetun ingin AIK punya papan nama, beliau meminta saya untuk membuatkan. 

Tidak ngasih uang, tidak ngasih bahan, pokoknya hanya minta dibuatkan papan nama. 

Ya sudah saya pakai uang saya untuk buat papan nama itu, berapa besarnya ya ngak ingat juga sih, tapi kalau mau hitungan bisa juga sih. Seingat saya itu tabungan terakhir saya. Selesai papan nama itu dipasang ditempat yang beliau inginkan. Habis sudah uang saya, kantong kosong, song, song. 

Ada rasa bangga bercampur aduk dengan sedih, bingung, juga perasaan hampa waktu Bpk. DHS hanya bilang “Bagus Hes”. Itu saja tidak nanya berapa biayanya. Dapat duit dari mana, pokoknya Cuma satu kata “Bagus” that’s it.

Saya mau bilang “Pakai uang saya Pak”, orang jawa bilang ora kewetu. Ya sudah saya mantapkan hati suatu saat akan bilang kalau pas akan bayaran uang kuliah. Tapi tidak pernah terucapkan, bahkan sampai hari ini.

Pokoknya bagaimana caranya tiap hari dari BendHil, Bendungan Hilir, bisa hadir di kampus untuk ikut mengerjakan apa saja, atau ke sekretariat AIK di jl. Senen Raya.

Lah, nganggur, ngak punya uang, tapi ingin kuliah. Ya segala cara saya lakukan yang penting terlihat oleh Bpk. DHS saya sedang melakukan sesuatu, atau siap dimintai tolong oleh beliau.

Dasarnya kan punya pengalaman jadi helper selama -/+ 5 tahun, ngerjain segala macam. Mungkin itu jalan dari NYA, jadi bantuan apapun yang dibutuhkan oleh Bpk. Djaetun, pasti bisa saya lakukan. 

Udah lupa juga sih apa saja yang dilakukan atau dikerjakan, tapi yang jelas bayangkan Gudang Militer di sudut jalan Budi Utomo dan jalan Gunung Sahari dipersiapkan untuk jadi 3 ruang kuliah.

Apa yang bisa saya lakukan, akan saya lakukan,

Apa yang bisa saya kerjakan, akan saya kerjakan

Apa yang bisa saya bantu, akan saya bantu

Saking seringnya ada di Budi Utomo, sampai kenal BuDe, semua orang memanggilnya begitu, yang punya warung kecil jual nasi.

Dan entah pemilik, entah penguasa, atau apalah, namanya Pak Hadi yang mengontrakkan Gudang tersebut ke Pak Djaetun. 

Kelak anaknya Heru, kalau tdk salah,  jadi mahasiswa angkatan pertama, angkatannya Suryanto. Perantauan asal Ambarawa, yang suatu saat, karena kasihan melihatnya, saya ajak ketemu Bpk. Djaetun HS dan akhirnya ikut bantu-bantu di Lab Komputer.

Kapan-kapan saya cerita, bagaimana kami, saya dan Suryanto sering banget mampir di Duta Suara, di jalan Sabang, ke Lapangan tenis Senayan, nonton atau melamun bareng ngak jelas lah.

Melihat saya kerja macam-macam, pak Hadi suka membuatkan Es Kopi. Minuman apa itu saya nggak tahu. Awalnya waktu beliau bilang “Nak Hestya mau Es Kopi?”

Rupanya dari ngobrol-ngobrol dengan saya itu barangkali, beliau mendorong Heru, anaknya, untuk ikutan kuliah di AIK. 

Suryanto, Heru, sekedar contoh, bukan baru tamat SMA, tapi sudah bangkotan. Entah magnit apa yang dimiliki oleh AIK jadi pada kuliah lagi,. Dan sejauh pengamatan saya, semua yng kuliah di AIK sukses semua dengan porsinya masing-masing

Begitu seringnya terlihat oleh Bpk. Djaetun, dan semaksimal mungkin mewujudkan apa yang beliau butuhkan atau inginkan, entah sebetulnya beliau puas atau tidak. 

Akhirnya saya bisa kuliah gratis, sambil jadi asisten dosen, sambil jadi “penguasa” Lab Komputer, sambil tetap seperti awal,

ready to do, 
ready to help, 
ready to serve.buat AIK. 

Sampai dinyatakan lulus dari AIK pada tahun 1980. Sebagai lulusan pertama.

Ada cerita tersendiri, tentang sistem ujian komprehensip yang super duper maut nya.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar